banner 200x200

Home / Ekonomi / Meranti / Nasional / Riau

Sabtu, 23 Juni 2018 - 14:27 WIB

Catatan Politik Agusyanto Bakar Jelang Pilkada Riau

LIPUTANKEPRI, MERANTI-Paling tidak ada 171 daerah di Indonesia yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 27 Juni 2018 ini. Ini merupakan ajang Pilkada serentak yang lebih besar kuantitasnya dari pada tahun-tahun sebelumnya. Dari 171 daerah tersebut terdiri dari 39 Kota, 115 Kabupaten dan 17 Provinsi.

Salah satu dari 17 Provinsi tersebut adalah Provinsi Riau yang diikuti oleh 4 (Empat) Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur : Syamsuar-Edy Natar Nasution, Lukman Edy-Hardianto, Firdaus-Rusli Efendi dan Arsyadjuliandi Rachman-Suyatno.

Berbicara tentang pelaksanaan Pilkada, satu hal yang cukup menarik akan ditemui adalah ketika kita bersentuhan dengan urusan pemilih. Dikatakan demikian, karena persoalan Pilkada bukan sekedar urusan Paslon dalam memaparkan visi, misi dan program kerjanya. Tetapi juga, bagaimana teknis-strategis Paslon dalam memperebutkan, mempengaruhi dan mengintervensi pasar pemilih. Kenapa disebut pasar pemilih? Tentu pasar yang dimaksud dalam tulisan ini semacam ilustrasi dengan alasan karena pasar meminjam Goenawan Mohammad, merefleksikan sebuah drama zaman: Kata itu bukan lagi sekedar menunjukkan suatu tempat berjual beli. Namun sudah identik dengan kegiatan jual beli itu sendiri yang melintasi letak, melampaui batas, bahkan ia menciptakan energi ajaib. Pasar bisa meruntuhkan pelbagai hal sekaligus menumbuhkan pelbagai hal.

Melalui pasar Pilkada inilah, para Paslon mengerahkan bahkan mengarahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menumbuhkan simpati dan memenangkan hati para pemilih melalui ‘barang dagangan’ yang ditawarkannya.

Para Paslon pada umumnya, berlomba-lomba dan berupaya mengakomodasi aneka problematika yang dihadapi para pemilih. Dalam konteks ini tentu kemasan terhadap ‘barang dagangan’ yang ditawarkan menjadi penting, karena akan mendongkrak pencitraan diri penjual. Sebab, penjual tidak saja dilatih dan dituntut untuk memahami dan mengerti keinginan dan kebutuhan pembeli, tetapi juga harus bisa menawarkan barang-barang yang berkualitas, tidak kadaluarsa yang diikuti dengan pelayanan prima kepada para pembeli setianya. Sebaliknya, para pembeli harus bisa tampil menjadi pembeli yang cerdas.

Pertama, perlu dibangun sikap kritis dalam menilai track record Paslon sebagai penjual dan mengevaluasi ‘barang dagangan’ Paslon melalui visi, misi dan program kerja yang di tawarkannya. Paslon mana yang lebih menunjukkan kepeduliannya. ‘Barang dagangan’ Paslon mana yang lebih mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan konkrit para pembeli. Lalu, bagaimana realisasi dari ‘barang dagangan’ yang ditawarkan dan parameter apa yang digunakan untuk mengukur keberhasilannya.

Kedua, para pembeli harus bisa tampil kritis dan aktif-artikulatif tidak saja pra-pemilihan, tapi juga pasca pemilihan nantinya untuk menagih janji dari ‘barang dagangan’ dengan kualitas baik yang diikuti komitmen akan pelayanan prima kepada pembeli yang di tawarkannya (Paslon) selama masa kampanye berlangsung. Hal ini tentu harus diikuti dengan intensitas pengawasan, kontrol dan evaluasi yang baik, termasuk menyangkut kinerja dan pengelolaan anggaran agar tidak keluar dari prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Ketiga, mungkin dipandang perlu mengintensifkan pendidikan politik bagi pemilih (Voter Education), agar menghasilkan pemilih-pemilih yang cerdas yang tidak terkecoh oleh teknis-strategis pemasaran yang di sampaikan oleh para penjual.

Oleh karenanya, dengan menggunakan analogi pasar dalam konteks Pilkada ini, maka pada akhirnya pasar Pilkada sejatinya merupakan pasar yang dinamis: Tempat penjual (baca : Paslon Kepala Daerah) dan pembeli (kita-kita para pemilih) sama-sama ingin meraih keutungan. Keuntungan ini akan berubah menjadi buntung, bila para pemilih terkecoh semata oleh kemasan yang di tawarkan penjual dan ketika kita sebagai pembeli bersikap apatis terhadap track record dan ‘barang dagangan’ (visi, misi dan program kerja) yang di tawarkan Paslon sebagai penjual. Sebab, karena kita bersikap apatislah, maka pemerintah otoriter pernah muncul begitu lama di Indonesia. Karena bersikap apatis pula, maka begitu banyak korban pembangunan ekonomi dan politik sebagai konsekuensi tidak terkontrolnya kekuasaan politik pemerintah oleh rakyat.

Dengan demikian, maka jangan Golput dan gunakan hak politik kita dengan sebaik-baiknya: Jangan tukarkan kedaulatan yang kita miliki dengan sejumlah uang maupun sembako untuk mempengaruhi pilihan kita pada hari ‘H’ pencoblosan (27 Juni 2018). Ingat! Lima menit di balik bilik suara, menentukan lima tahun nasib kita ke depan. Ini bermakna, arah perjalanan Riau ke depan sangat ditentukan oleh suara rakyat pemilih di balik bilik suara: Vox Populi, Vox Dei, demikian sebuah adigium politik berujar.

*Penulis berdomisili di Kabupaten Meranti

Share :

Baca Juga

Meranti

Lurah Timur Sosialisasi JKN Pertama Kalinya

Liputan Kriminal

Satres Narkoba Polres Meranti Musnahkan Barang Bukti 24,85 Gram Sabu ke Parit

Featured

Anthony Ginting Juara!

Riau

Jumat Barokah, Polsek Tambang Kembali Berbagi Sembako Kepada Warga Kurang Mampu

KPK

Hari Ini, KPK Periksa 8 Saksi terkait Kasus Suap Gubernur Kepri

Meranti

Ini Pesan Bupati Meranti Buat Para Calon Kades Yang Mengikuti Pilkades Serentak 2019 Mendatang

Batam

Bakamla RI siap cegah kapal pembuang limbah di perairan Batam

Featured

Jambi Di Landa Gempa bumi berkekuatan 5,5 skala Richter